Dari waktu ke waktu kaki ini aku kayuh. Kadang aku berlari untuk mencapai target, yakni tuntutan dakwah yang tak mungkin aku tunda. Tubuhpun mengeluarkan peluh, kepenatan dan keletihan. Tetesan air mata kadang harus kutumpahkan untuk tujuan dakwah yang aku perjuangkan.
Perjalanan ini adalah perjalanan yang melelahkan. Lelah fisik bahkan jiwa dan pikiran. Maka akupun membutuhkan terminal-terminal tempat beristirahat. Tempat aku merasakan “kegembiraan” bersama, melepaskan ketegangan, dan meregangkan otot dan persendian. Bak peristirahatan seorang prajurit, menurut Syaikh Jasim Muhalhil al Yasin. “Prajurit dakwah” membutuhkan waktu untuk beristirahat dan selanjutnya kembali ke medan laga. Salah satu terminal peristirahatan itu adalah “terminal Canda”.
Di jalan dakwah ini, aku mempunyai ruang untuk tersenyum dan tertawa. Inilah salah satu “bumbu” kebersamaan dengan para al-akh “prajurit dakwah” yang lain untuk menumbuhkan kembali semangat. Sebagaimana Rosululloh SAW pun memiliki ruang-ruang canda dan tawa dengan para sahabatnya. Hingga Imam As Suyuti ra. menyebutkan salah satu sifat Rosululloh SAW dengan istilah “ad-dhahuuk al-qattaal”, yakni orang yang sering tersenyum tapi mampu berperang.
Keseriusan para sahabat dalam berdakwah dan berjihad, besarnya perhatian para salafusshalih dalam memerangi kemungkaran dan menekuni ilmu, tidak menjadikan mereka bak orang yang tak mengenal senyum dan tertawa. Meski demikian, catatan perjalanan para “prajurit dakwah” generasi awal itu bukan berarti porsi canda menjadi dominan dalam kehidupan mereka. Mereka adalah orang-orang yang mampu menempatkan sikap-sikap canda sesuai kebutuhannya. Ibarat “bumbu kehidupan”, canda dibutuhkan untuk “membangun” kebersamaan dan mencairkan “ketegangan”.
Menempuh perjalanan dakwah, meninggalkan pelajaran tentang kebutuhan jiwa untuk istirahat dan tertawa, namun tetap pada porsi dan batasan etikanya. Lantaran “canda dan tawa” yang tidak proporsional dan “keterlauan” hanya akan berakibat hati akan “mengeras”, dan sulit “menerima” kebenaran.
Pertemuanku dengan al-akh “prajurit dakwah” di jalan dakwah ini, sering diwarnai dengan canda, senyum dan tawa. Meskipun interaksi untuk sebuah “urusan” atas nama dakwah sangat memerlukan keseriusan berpikir dan ketegasan berpendapat. Semuanya tak terganggu oleh dinamika canda dan tertawa. Canda yang berkembang di antara para “prajurit dakwah” bisa memberikan energi baru yang mencerahkan jiwa dan pikiran, berfungsi menghilangkan kebekuan, mencairkan hubungan, mendekatkan kembali ikatan batin yang mungkin saja mulai ternoda oleh debu perjalanan.
Ada ungkapan Ibnu Umar ar. tentang para Sahabat Rasululloh, ketika ia ditanya, “Apakah para Sahabat Rosululloh itu tertawa?” Ibnu Umar menjawab, “Ya, mereka tertawa, tapi keimanan dalam hati mereka laksana gunung yang kokoh.
Terakhir, aku jadi teringat sebuah tulisan seorang al-akh, Abu Farwah, yang berjudul: “Ketika Ikhwan Tersenyum: Kumpulan Anekdot dan Kisah-kisah Unik di Sekitar Aktifis Dakwah”. Tulisan tersebut berisi kumpulan cerita-cerita lucu yang sering menghiasi keseharian aktivis dakwah dalam koridor “kegiatan dakwah”. Di bagian pengantar, Abu Farwah menuliskan ungkapan sebagai berikut:
Salah satu dari tiga alasan seorang Umar bin Khotob memilih untuk tetap eksis hidup di dunia ini adalah: Keindahan ukhuwah. Dua yang lainnya adalah kenikmatan qiyamul lail dan jihad fi sabilillah. Beruntung dan bersyukurlah bagi setiap kita, para aktifis dakwah, yang hari-harinya di penuhi dengan keindahan ukhuwah. Adalah sebuah fenomena riil, jika kita lihat kehidupan sehari-hari para aktifis dakwah. Maka akan kita temukan sekelompok manusia, atau sebuah komunitas yang cenderung lebih ceria, akrab, energik dan elegan. Jauh dari kesan kaku, kolot, galak dan beku. Diantara sekian keceriaan dan keakraban itu, muncullah anekdot-anekdot lucu atau pemaparan kisah-kisah unik yang menghangatkan ukhuwah diantara mereka. Apapun, harapan agung penulis menyusun ini adalah untuk menghangatkan ukhuwah di antara kita. Agar kembali ceria wajah-wajah kita. Agar lebih tulus senyum dan sapaan kita. Agar kita lebih siap menyambut pekerjaan-pekerjaan berat lainnya. Karena agenda dan proyek-proyek kita, jauh lebih padat dari jatah usia masing-masing dari kita. Selamat menikmati dan selamat meneruskan proyek-proyek dakwah antum. [Abu Farwah, Khartoum Mei 2004].
Demikian, semoga essai “Terminal itu Bernama Canda” ini bisa memberikan manfaat kepada mereka yang telah mengazamkan hidupnya untuk dakwah. Bahwa dengan senyum dan canda akan mampu memberikan semangat dan energi baru guna melanjutkan perjalanan yang jauh dan tak berujung ini.
Wallahu’aklam Bissawab
Maraji: Sebagian dari isi tulisan ini disarikan dari salah satu sub-bab buku berjudul “Beginilah Jalan Dakwah Mengajarkan Kami”.
sumber :
^_______^
ReplyDeletelebar amat senyumnya...
ReplyDeleteini kadang... hilang....,
ReplyDeleteiya kan bnyak manfaatnya dalam suatu ikatan ukhuwah.
gak kaku, gak jaim2an.. hehe...
tentunya.. ttp menjaga interaksi wan-wat hehe ^^
iyah sih..tp skrg byk lho yg bercanda kebablasan..
ReplyDeleteyg jauh dr etika..dan g sadar bercandanya tuh melenakan..
bercanda kan ada adab dan aturannya...heheh
Ya Allah, kumohon smg para oknum tokoh2 (aplg yg ngerti agama) tdk lagi trlalu bnyk bcanda, aplg di TV aw di dpn umum
ReplyDeleteaamiin..^_^
ReplyDeletenyinggung nih... hehe...
ReplyDeletenyinggung??aduh nyinggung siapa ya??
ReplyDeletenyinggung diri ane sendiri??iyah nih byk becanda di MP..
ehm... ehm......
ReplyDeleteterasa ada yang nyangkut...
gubruks..gubruks....
iya deh.. aku ngaku... n__n,
gak tau mb, smg gak ke bablasan dan masih dlm batas wajar2 sj .. hehe
aduh nyangkut apa??
ReplyDeletengaku apa??
ane kagk ikut2an deh..
terminal pemberhentian..... tapi ga boleh lama ngetemnya, ntar penumpangnya keburu kabur semua..hehe
ReplyDelete*nyari angkot*
ReplyDeleteyupz..mgkin itu analogi yg tepat mbak...hehhe
ReplyDeletedimana??
ReplyDelete